PEMANFAATAN LIMBAH UDANG
Abstrak
Pencemaran lingkungan perairan yang
disebabkan oleh logam-logam berat seperti kadmium, timbal dan tembaga yang
berasal dari limbah industri sudah lama diketahui. Untuk menghilangkan bahan pencemar
perairan tersebut hingga kini masih terus dikembangkan. Penggunaan biomaterial merupakan salah satu teknologi yang dapat
dipertimbangkan, mengingat meterialnya mudah didapatkan dan membutuhkan biaya
yang realtif murah sebagai bahan penyerap senyawa beracun dalam air limbah.
Limbah udang yang berupa
kulit, kepala, dan ekor dengan mudah didapatkan mengandung senyawa kimia berupa
khitin dan khitosan. Senyawa ini dapat diolah dan
dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang dihasilkan oleh
limbah industri. Hal ini dimungkinkan karena senyawa
khitin dan khitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi,
reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation
sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat berpungsi
sebagai absorben terhadap logam berat dalam air limbah.
Kata kunci
: logam berat, khitin, khitosan, koagulasi, absorben
Pendahuluan
Pembangunan
yang pesat dibidang ekonomi disatu sisi akan
meningkatkan kualitas hidup manusia, yaitu dengan meningkatnya pendapatan
masyarakat, tetapi di sisi lain akan berakibat pada penurunan kesehatan akibat
adanya pencemaran yang berasal dari limbah industri dan rumahtangga. Hal ini karena kurangnya atau tidak memadainya fasilitas atau
peralatan untuk menangani dan mengelola limbah tersebut.
Salah satu pencemaran pada badan air adalah masuknya logam berat. Peningkatan kadar
logam berat di dalam perairan akan diikuti oleh peningkatan kadar zat tersebut
dalam organisme air seperti kerang, rumput laut dan biota laut lainnya. Pemanfatan
organisme ini sebagai bahan makanan akan membahayakan
kesehatan manusia.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka berkembang pulalah
industri-industri. Akibatnya lingkungan menjadi salah satu sasaran pencemaran,
terutama sekali lingkungan perairan yang sudah pasti terganggu oleh adanya
limbah industri, baik industri pertanian maupun industri pertambangan. Kebanyakan dari limbah itu biasanya dibuang begitu saja tanpa
pengolahan terlebih dahulu.
Berbagai
metode seperti penukar ion, penyerapan dengan karbon aktif (Rama, 1990) dan
pengendapan secara elektrolisis telah dilakukan untuk menyerap bahan pencemar
beracun dari limbah, tetapi cara ini membutuhkan biaya
yang sangat tinggi dalam pengoperasiannya. Penggunaan bahan
biomaterial sebagai penyerap ion logam berat merupakan alternatif yang
memberikan harapan. Sejumlah biomaterial seperti lumut (Low et al.,
1977), daun teh (Tan dan Majid, 1989), sekam padi (Munaf ,
1997), dan sabut kelapa sawit (Munaf, 1999), begitu juga dari bahan non
biomaterial seperti perlit, tanah gambut, lumpur aktif dan lain-lain telah
digunakan sebagai bahan penyerap logam-logam berat dalam air limbah.
Kulit udang yang mengandung senyawa kimia khitin dan khitosan merupakan
limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak, yang selama
ini belum termanfaatkan secara optimal.
Dengan adanya
sifat-sifat khitin dan khitosan yang dihubungkan dengan gugus amino dan
hidroksil yang terikat, maka menyebabkan khitin dan khitosan mempunyai
reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation
sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion
exchanger) dan dapat berperan sebagai absorben terhadap logam berat dalam air
limbah ( Hirano, 1986). Karena berperan sebagai penukar ion
dan sebagai absorben maka khitin dan khitosan dari limbah udang berpotensi
dalam memcahkan masalah pencemaran lingkungan perairan dengan penyerapan yang
lebih murah dan bahannya mudah didapatkan.
Limbah
Udang sebagai Material Penyerap Logam Berat
Sebagian besar limbah
udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut
pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Neely
dan Wiliam, 1969). Kulit udang mengandung protein (25 % - 40%), kalsium
karbonat (45% - 50%), dan khitin (15% - 20%), tetapi besarnya kandungan
komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. sedangkan kulit kepiting
mengandung protein (15,60% - 23,90%), kalsium karbonat (53,70 – 78,40%), dan
khitin (18,70% - 32,20%), hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan
tempat hidupnya (Focher et al., 1992)
Kandungan khitin dalam kulit udang lebih sedikit dari kulit
kepiting, tetapi kulit udang lebih mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang
banyak sebagai limbah.
Khitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai
besi, pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu
ekstrak jamur yang dinamakan fungiue. Pada tahun 1823 Odins
mengisolasi suatu senyawa kutikula serangga janis
ekstra yang disebut dengan nama khitin (Neely dan Wiliam, 1969). Khitin merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan
golongan orthopoda, annelida, molusca, corlengterfa, dan nematoda. Khitin biasanya berkonyugasi dengan protein dan tidak hanya
terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea,
insang, dinding usus, dan pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi (Neely dan
Wiliam, 1969). Adanya khitin dapat dideteksi dengan
reaksi warna Van Wesslink. Pada cara ini khitin
direaksikan dengan I2-KI yang memberikan warna coklat, kemudian jika
ditambahkan asam sulfat berubah warnanya menjadi violet. Perubahan
warna dari coklat hingga menjadi violet menunjukan reaksi positif adanya
khitin.
Khitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan
merupakan melekul polimer berantai lurus dengan nama lain b-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa
(N-asetil-D-Glukosamin) (Hirano, 1986; Tokura, 1995). Struktur khitin sama
dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan
ikatan glikosida pada posisi b-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat
pada atom karbon yang kedua pada khitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH2)
sehingga khitin menjadi sebuah polimer berunit N-asetilglukosamin (The Merck
Indek, 1976).
Khitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10
(Hirano, 1976) merupakan zat padat yang tak berbentuk (amorphous), tak larut
dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut
organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Khitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan
N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan khitosan adalah khitin yang
terdeasetilasi sebanyak mungkin.
Khitosan yang disebut juga dengan b-1,4-2
amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan turunan dari khitin melalui proses
deasetilasi. Khitosan juga merupakan suatu polimer
multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus
hidroksil primer dan skunder. Adanya gugus fungsi ini
menyebabkan khitosan mempunyai kreatifitas kimia yang tinggi (Tokura, 1995).
Khitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air,
larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3
PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Khitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat
polielektrolitik (Hirano, 1986). Disamping itu
khitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti
protein. Oleh karena itu, khitosan relatif lebih banyak digunakan pada
berbagai bidang industri terapan dan induistri kesehatan (Muzzarelli, 1986)
Saat ini budi daya udang dengan tambak telah berkembang dengan pesat,
karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat dihandalkan dalam
meningkatkan ekspor non -migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang
bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk
udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya.
Limbah yang
dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan pengolahan
kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat udang. Dengan
demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi
(Anonim, 1994). Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang
terdiri dari protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu, dan lain-lain
(Anonim, 1994)
Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan masalah yang perlu
dicarikan upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran
lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta
estetika lingkungan yang kurang bagus (Manjang, 1993).
Saat ini di Indonesia sebagian kecil dari limbah udang sudah termanfaatkan
dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan bahan pencampur pakan
ternak. Sedangkan di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, limbah
udang telah dimanfaatkan di dalam industri sebagai bahan dasar pembuatan khitin
dan khitosan. Manfaatnya di berbagai industri
modern banyak sekali seperti industri farmasi, biokimia, bioteknologi,
biomedikal, pangan, kertas, tekstil, pertanian, dan kesehatan. Khitin dan khitosan serta turunannya mempunyai sifat sebagai bahan
pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi (Lang, 1995).
Isolasi khitin dari limbah kulit udang dilakukan secara bertahap yaitu
tahap pemisahan protein (deproteinasi) dengan larutan basa, demineralisasi,
tahap pemutihan (bleancing) dengan aseton dan natrium hipoklorit. Sedangkan transformasi khitin menjadi
khitosan dilakukan tahap deasetilasi dengan basa berkonsentrasi tinggi, seperti
terlihat pada gambar 1 (Ferrer et al., 1996; Arreneuz, 1996., dan Fahmi,
1997)
Khitin dan
khitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang digunakan sebagai absorben
untuk menyerap ion kadmium, tembaga, dan timbal dengan cara
dinamis dengan mengatur kondisi penyerapan sehingga air yang dibuang ke
lingkungan menjadi air yang bebas dari ion-ion logam berat. Mengingat besarnya
manfaat dari senyawa khitin dan khitosan serta tersedianya bahan baku yang banyak dan mudah didapatkan maka perlu pengkajian
dan pengembangan dari limbah ini sebagai bahan penyerap terhadap logam-logam
berat diperairan.
Gambar 1. Diagram
Alir Metode Isolasi khitin dari Limbah Udang
Logam Berat Beracun di
Perairan
Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5
gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari
perioda 4 sampai 7 (Miettinen, 1977). Sebagian logam berat
seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang
berbahaya. Afinitas yang tinggi terhadap unsur S
menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim
bersangkutan menjadi tak aktif. Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2)
juga bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan tembaga terikat
pada sel-sel membran yang menghambat proses transpormasi melalui dinding sel.
Logam berat juga mengendapkan senyawa fosfat biologis atau mengkatalis
penguraiannya (Manahan, 1977).
Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun logam berat
terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut
merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timah hitam (Pb), krom (Cr), nikel (Ni),
dan kobalt (Co) (Sutamihardja dkk, 1982). Menurut Darmono
(1995) daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke paling rendah terhadap
manusia yang mengkomsumsi ikan adalah sebagai berikut Hg2+ > Cd2+
>Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+
> Cr2+ Sn2+ > Zn2+. Sedangkan
menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990) sifat
toksisitas logam berat dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok, yaitu bersifat
toksik tinggi yang terdiri dari atas unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn.
Bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co, sedangkan
bersifat tosik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe.
Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara
langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung
terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam
berat ( PPLH-IPB, 1997; Sutamihardja dkk, 1982) yaitu
:
1.
Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan
dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan)
2.
Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan
membahayakan kesehatan manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut
3.
Mudah terakumulasi di
sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam
dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan masa air
yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga
sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu
Kadmium dalam air berasal dari pembuangan industri dan limbah pertambangan. Logam ini sering
digunakan sebagai pigmen pada keramik, dalam penyepuhan listrik, pada pembuatan
alloy, dan baterai alkali. Keracunan kadmium dapat
bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat ditimbulkannya
berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem
ginjal dan kelenjer pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang
(Clarkson, 1988; dan Saeni, 1997)
Tembaga merupakan logam yang ditemukan dialam dalam bentuk senyawa dengan
sulfida (CuS). Tembaga
sering digunakan pada pabrik-pabrik yang memproduksi peralatan listrik, gelas , dan alloy. Tembaga masuk keperairan merupakan faktor
alamiah seperti terjadinya pengikisan dari batuan mineral sehingga terdapat
debu, partikel-partikel tembaga yang terdapat dalam lapisan udara akan terbawa oleh hujan. Tembaga juga
berasal dari buangan bahan yang mengandung tembaga seperti dari industri
galangan kapal, industri pengolahan kayu, dan limbah domestik.
Pada konsentrasi 2,3 – 2,5 mg/l dapat mematikan ikan dan
akan menimbulkan efek keracunan, yaitu kerusakan pada selaput lendir (Saeni,
1997). Tembaga dalam tubuh berfungsi sebagai sintesa hemoglobin dan tidak mudah
dieksresikan dalam urine karena sebagian terikat
dengan protein, sebagian dieksresikan melalui empedu ke dalam usus dan dibuang
kefeses, sebagian lagi menumpuk dalam hati dan ginjal, sehingga menyebabkan
penyakit anemia dan tuberkulosis.
Logam timbal (Pb) berasal dari buangan industri metalurgi, yang bersifat
racun dalam bentuk Pb-arsenat. Dapat juga berasal dari proses korosi lead bearing alloys. Kadang-kadang
terdapat dalam bentuk kompleks dengan zat organik seperti hexaetil timbal, dan
tetra alkil lead (TAL) (Iqbal dan Qadir, 1990)
Pada hewan dan manusia timbal dapat masuk ke dalam tubuh melalui makanan
dan minuman yang dikomsumsi serta melalui pernapasan dan penetrasi pada kulit. Di dalam tubuh manusia,
timbal dapat menghambat aktifitas enzim yang terlibat dalam pembentukan
hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit anemia. Gejala
yang diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah kurangnya nafsu makan,
kejang, kolik khusus, muntah dan pusing-pusing. Timbal dapat juga
menyerang susunan saraf dan mengganggu sistem reproduksi, kelainan ginjal, dan
kelainan jiwa (Iqbal dkk 1990; Pallar, 1994)
Proses
perjalanan logam berat dari sumber pencemar hingga sampai ke tubuh manusia digambarkan dalam gambar 1 (Suwirma, 1988).
Gambar 2. Skema perjalanan logam berat dari sumber pencemar sampai ke
tubuh manusia
PenutupBerdasarkan urian di atas dapat dinyatakan bahwa pemanfaatan limbah udang sebagai bahan penyerap ion logam berat pada perairan sudah seharusnya dapat dikembangkan. Hal ini memungkinkan untuk dilaksanakan mengingat limbah udang yang mudah didapat dengan proses yang relatif mudah dan sekaligus dapat meningkatkan estetika lingkungan dari bau yang ditimbulkan limbah. Disamping itu dengan mengembangkan alternatif penyerapan logam berat yang bersifat racun bagi kehidupan organime akan dapat meningkatkan kesehatan masyarakat dan juga dapat meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Anonim, 1994. Pengolahan dan
Pemanfaatan Limbah Hasil Perairan Seri I. Dirjen
Perikanan, Jakarta.
Arreneuz, S.
1996. Isolasi Khitin dan Transformasinya menjadi Khitosan
dari Limbah Kepiting Bakau (Seylla Serrata) [Skripsi]. Bandung: Universitas
Jendral Ahmad Yani, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Fahmi, R.
1997. Isolasi dan Transformasi Khitin Menjadi Khitosan.
Jurnal Kimia Andalas. 3 (1) : 61 – 68.
Ferrer, J., G. Paez, Z. Marmol, E. Ramons, H. Garcia and C.F.
Forster. 1996. Acid hydrolysis of Shrimp ShellWastes and The Production
of Single Chell Protein from The Hydrolysate. Journal
Bioresour Technology. 57 (1) : 55 – 60.
Focher, B., Naggi, A., Tarri, G., Cosami, A. and Terbojevich, M.
1992. Structural Differences Between Chitin Polymorphs and Their Precipitates from Solution Evidence from CP-MAS 13
C-NMR, FT-IR and FT-Raman Spectroscopy. Charbohidrat Polymer. 17 (2) : 97 – 102.
Hirano, S.
1986. Chitin and Chitosan. Ulmann’s Encyclopedia of
Industrial Chemistry. Republicka of Germany. 5th
. ed. A 6: 231 – 232.
------------
1995. Biomedical and Animal Feed Additive Application of
Chitin and Chitosan. Collerction of Working Papers 28.
Universiti Kebangsaan Malaysia. 24
: 221 –0 226.
Iqbal, H. Z. and M.A. Qodir. 1990. AAS determination of Lead
and Cadmium in Leaves Polluted by Vehicles Exhoust. Interface. Juornal Environmental Analytic Chemistry. 38 (4) : 533 – 538
KPPL DKI Jakarta dan PPLH IPB. 1997. Studi Potensi Kawasan
Perairan Teluk Jakarta,
Laporan Akhir
Lang, G.
1995. Chitosan Derivatives-Preparation and Potential Uses. Collection
of working Papers 28. Universiti Kebangsaan Malaysia.
11 : 109 – 114
Low, K.S., C.K. Lee and S.G. Tan. 1997. Sorption of
Trivalent Chromium from Tannery Waste by Moss. Juornal
Environmental Technology. 18 : 449 – 454
Manahan, S.E.
1977. Environmental Chemistry. Second Ed. Williard Press. Boston
Manjang, Y.
1993. Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Khitosan. Jurnal
Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 – 143
Mittinen,
J.K. 1977. Inorganic Trace Element as Water Pollutan to Healt
and Aquatic Biota dalam F. Coulation an E. Mrak,
Ed. Water Quality Procced of an Int. Forum. Academic
Press. New york
Munaf, E dan R. Zein. 1999. Pemanfaatan
Sabut Kelapa Sawit untuk Menyerap Ion Logam Kadmium dan Kromium Dalam Air
Limbah. Jurnal Kimia Andalas. 5 (1) : 10 – 14
Muzzarelli,
R.A.A. 1986. Chitin. Faculty of
Medicine Univeersity of Ancona.
Italy.
Pergamon Press. 81 –87
Neely, M.C.H and William. 1969. Chitin and Its Derivates in
Industrial. Gums Kelco Company California. 193 – 212
Pallar, H. 1994. Pencemaran dan
Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta. pp.61 –73,
116 – 137
Rama, D.P.,
and Rama Krisha Naidu, G. 1990. Enrichment of Trace Metals in
Water on Activated Carbon. Analyst. 115 : 1469 – 1471
Saeni, M.S.
1997. Penentuan Tingkat Pencemaran Logam Berat dengan
Analisis Rambut. Orasi Ilmiah, Guru Besar Tetap Ilmu Kimia Lingkungan,
Fakultas Matematika dan IPA IPB. Bogor
Sutamihardja,
R.T.M., Adnan, K. dan Sanusi. 1982. Perairan Teluik Jakarta Ditinjau dar
Tingkat Pencemarannya. Fakultas Pascasarjana, Jurusan PSL. IPB
Suwirma, S., Surtipanti, S., dan Thamsil, L. 1988. Distribusi Logam Berat Hg, Pb, Cd, Cr, Cu, dan Zn dalam Tubuh Ikan.
Majalah Batan. 9 (8) : 9 – 16
Tan, W. T.
and A.r. Majid Khan. 1989. Removal of Lead, Cadmium
and Zinc by Waste Tea Leaves. Journal Environmental
Technology. 9: 1223 – 1232
The Merck
Indek an Encyclopedia of Chemicals and Drugs. 1976. Chitin. 9th
. Ed. Merck and Co. Int.Rahway. N.J. USA.
pp. 259
Tokura, S. and N. Nishi. 1995. Specification and
Characterization of Chitin and Chitosan. Collection of
Working Papers. 28. Univesiti Kebangsaan Malaysia 8 :
67 – 78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar